Setamat pendidikan dasar di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS),
Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun
memilih menjadi pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923
memasuki sekolah militer
het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) di
Magelang.
Sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim di Padang Panjang selama
lima tahun, Gatot Subroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti
pendidikan lanjutan, pendidikan
masose. Gatot Subroto dikenal
sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja
sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh
seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung
dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham dan mengerti bagaimana seorang
tentara harus bertindak.
Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun mengikuti pendidikan
Pembela Tanah Air (PETA),
organisasi militer milik Jepang yang merekrut tentara pribumi untuk
berperang, di Bogor. Di sanalah karier Gatot Subroto mulai merangkak
naik. Selepas lulus dari pendidikan Peta, ia diangkat menjadi komandan
kompi di Banyumas sebelum akhirnya ditunjuk menjadi komandan batalyon.
Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
dan kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II,
Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan
sekitarnya.
Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat
kecil meski tengah bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan
Jepang. Ia dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi
berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham
dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak. Selama menjabat
sebagai komandan kompi dan komandan batalyon, Gatot Subroto dinilai
sering memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang sering kali
membuat ia ditegur oleh atasannya.
Namun, bukan berarti sering mendapat teguran dari atasan membuat
Gatot Subroto kapok dan patuh terhadap perintah. Justru hal itulah yang
membuat Gatot Subroto mendapatkan angin segar untuk sekadar 'menakuti
dan mengancam' pihak Jepang. Saat itu, ia mengancam bahwa dirinya
mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut
senjata perangnya. Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya
kemudian meluluskan apa yang dikerjakan Gatot Subroto, yakni memihak
pribumi terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika berbuat
semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.
Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil didapat, Gatot Subroto kemudian membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal nama
Tentara Nasional Indonesia
yang ada kini. TKR dipimpin oleh Kol. Sudirman di mana saat itu Gatot
Subroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti menjadi Komandan
Devisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang
dalam
pertempuran Ambarawa.
Pada tahun 1948 terdapat
Peristiwa Madiun atau
Madiun Affairs yang melibatkan pihak
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
Tentara Nasional Indonesia.
Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang
kemudian berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot
Subroto. Saat melawan PKI, Gatot Subroto melancarkan operasi militer
agar dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat
menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15
September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari
timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel
Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19
September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di
bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar
Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung
Muso
dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan
pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Tanggal 30
September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik
yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat,
bertemu di hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta
beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa
arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan
pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok
kiri, termasuk
Amir Syarifuddin Harahap,
mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, dieksekusi pada 20 Desember
1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Tak berbeda jauh dengan pemberontakan yang ada di Jawa, di Sulawesi
Selatan juga terdapat pemberontakan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar pada tahun 1952. Lagi-lagi
karena dinilai pandai dalam memasang strategi, Gatot Subroto diserahi
untuk menumpas pasukan pemberontak dan kembali pulang dengan membawa
kemenangan. Tak hanya sekadar kemenangan, para pemberontak pun juga
berhasil dibujuknya agar kembali dalam barisan TKR. Berkat usahanya
tersebut, Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Tentara &
Teritorium (T & T) IV Diponegoro di tahun yang sama.
Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang
disiplin, tegas, berani, dan membela kaum yang tertindas. Maka, pada
tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di istana negara akibat tuntutan
rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang dituduh
sebagai dalang kerusuhan tersebut langsung mengundurkan diri dari
jabatannya sekaligus dari dinas militer. Pada
1953,
ia mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian
diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan
Darat (Wakasad) pada tahun
1956.
Melalui tangannya, ia berhasil melumpuhkan pemberontakan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia-Perdjuangan Rakjat Semesta (
PRRI/Permesta) yang ada di Sumatera dan Sulawesi Utara.
Pada tanggal 11 Juni 1962, Gatot Subroto meninggal di usia 55 tahun.
Pangkat terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Ia adalah
penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan (
Angkatan Darat,
Angkatan Udara,
Angkatan Laut) untuk membina para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan
Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1965.
Melengkapi pangkatnya, seminggu setelah ia dimakamkan di desa
Mulyoharjo, Ungaran, Jogjakarta, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.222 tanggal 18
Juni 1962 disematkan kepadanya.
[1]