Rabu, 09 Maret 2016

Perjuangan Cut Nyak Dien




            Perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda dan mengusir pemerintah kolonial Belanda dari Tanah Rencong begitu gigih dan tak kenal menyerah. Perjuangan Cut Nyak Dien semakin membuat pemerintah kolonial Belanda kewalahan menghadapinya. Taktik berperangnya memang begitu cerdik. Seorang perempuan yang begitu cerdas, berani, dan penuh kecintaan terhadap Bumi Pertiwi.
Kota Aceh adalah salah satu kota yang memiliki banyak sejarah. Salah satu peninggalan sejarahnya adalah Mesjid Baiturrahman. Inilah ikon Aceh, yang menjadi kebanggaan masyarakat Serambi Mekkah, yakni Masjid Baiturrahman.
Masjid megah ini selain untuk beribadah umat Islam, masjid ini merupakan bukti dokumentasi konkret tentang awal masuknya Islam ke Aceh yang dibawa oleh pedagang Gujarat. Masjid Baiturrahman menegaskan pula bahwa Aceh itu sebagai Serambi Mekkahnya Indonesia.
Masjid ini dibangun pada abad 17, di masa era kesultanan Iskandar Muda. Awalnya, masjid ini adalah masjid kesultanan, tapi seiring meluasnya Islam di Aceh, masjid ini dibuka untuk masyarakat umum. Masjid ini sudah mengalami beberapa perluasan dan renovasi, termasuk menjadi saksi sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk perjuangan seorang Cut Nyak Dien.
Perjuangan Cut Nyak Dien
Beliau lahir di Lampadang, Aceh, pada 1850. Ayah dan suaminya merupakan pejuang kemerdekaan. Ketika Belanda menduduki tanah kelahirannya, beliau mengungsi dan berpisah dengan ayah dan suaminya. Perpisahan ini menjadi akhir pertemuan beliau dengan suami tercintanya. Teuku Ibrahim Lamnga, suaminya, gugur dalam pertempuran dengan Belanda di Gletarum, Juni 1878.
Cut Nyak Dien tidak menerima penghinaan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda yang pada awalnya menyerang Aceh dan membinasakan tempat ibadah. Kemarahannya terhadap Belanda semakin menjadi saat suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, gugur dalam perang.
Selang 2 tahun setelah kematian suaminya, beliau menikah lagi dengan salah seorang pejuang hebat bernama Teuku Umar. Cut Nyak Dien dilamar pejuang Aceh bernama Teuku Umar. Bersama suami keduanya ini, Cut Nyak Dien semakin bersemangat untuk mengusir penjajah Belanda. Guna mempertahankan wilayah dan kemerdekaan, Cut Nyak Dien tak gentar maju berperang melawan Belanda yang memiliki persenjataan canggih.
Namun sayang, kisah tragis yang pernah dialaminya kembali terulang. Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Setelah suaminya Teuku Umar meninggal, Cut Nyak Dien meneruskan perjuangannya sendirian. Namun, ia tak gusar. Tak kalah mental meski ditinggal suami tercinta yang gugur di medan perang. Cut Nyak Dien terus melakukan gempuran terhadap markas-markas Belanda bersama para pengikutnya.
Cut Nyak Dien menjadi orang yang paling dicari oleh Belanda untuk dibunuh karena perjuangannya mengancam keberadaan dan kelangsungan pemerintah kolonial Belanda di bumi Serambi Mekkah. Namun, perjuangan Cut Nyak Dien dikhianati oleh anak buahnya, Pang Lot, yang memberi tahu Belanda tempat persembunyian Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien yang ketika itu telah tua dan buta karena matanya mengalami kerabunan akut, tidak bisa menghindar lebih jauh dari serangan Belanda yang tiba-tiba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Kemudian, diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Perjuangan Cut Nyak Dien mesti terhenti karena ia ditahan di Sumedang.
Di dalam tahanan, ia dijuluki sebagai Ibu Perbu sebab Cut Nyak Dien begitu paham dengan ajaran agama. Seorang ulama bernama Ilyas yang juga ditahan memberinya julukan tersebut.
Pada 6 November 1906, perjuangan Cut Nyak Dien benar-benar berakhir dengan kepulangannya kepada Sang Pencipta. Ia dimakamkan di Sumedang dan makamnya baru ditemukan pada 1959 atas perintah gubernur Aceh bernama Ali Hasan.
Pencarian makan Cut Nyak Dien berdasarkan atas data yang ditemukan di Belanda. Berkat semangat pantang menyerahnya, beliau dinobatkan sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden RI No. 106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Perjuangan Cut Nyak Dien dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, menginspirasi sutradara Eros Djarot untuk mengabadikannya dalam sebuah film pada 1988. Christine Hakim didaulat menjadi aktor yang memerankan Cut Nyak Dien. Film Tjoet Nja' Dhien mendapat penghargaan Piala Citra sebagai kategori film terbaik dan film ini menjadi film pertama produksi Indonesia yang diputar di Festival Film Cannes.
Perjuangan Cut Nyak Dien tak berhenti dengan kematiannya. Perjuangan pahlawan bangsa ini akan terus tumbuh, hidup, dan abadi, dalam jiwa bangsa Indonesia, khususnya rakyat Aceh.
Sumber : Museum Pahlawan

0 komentar:

Posting Komentar