Jumat, 25 Maret 2016

Perjuangan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo



Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); lahir di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898 – meninggal di Bago, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, 10 September 1948 pada umur 50 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dan gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat Bupati di Kabupaten Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro (Residen) pada tahun 1943.
RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepebuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.
Tanggal 10 September 1948, mobil RM Suryo dicegat orang tak dikenal di tengah hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi. Dua perwira polisi yang lewat dengan mobil ikut ditangkap. Ke 3 orang lalu ditelanjangi, diseret ke dalam hutan dan dibunuh. Mayat ke 3 orang ditemukan keesokan harinya oleh seorang pencari kayu bakar.[butuh rujukan]
R. M. T. Soerjo dimakamkan di makam Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan. Sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang jasa-jasanya terletak di Kecamatan Kedunggalar kabupaten Ngawi.

Perjuangan KH Fakhruddin



 

KH Fakhruddin atau sering dipanggil Muhammad Jazuli, (lahir di Yogyakarta 1890 - Yogyakarta, 28 Februari 1929[1]) adalah seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga tokoh Muhammadiyah. Ia tidak pernah mendapat pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pelajaran agama mula-mula diterima ayahnya, H. Hasyim, kemudian dari beberapa ulama terkenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fakhruddin dianggap sebagai seorang tokoh yang serba bisa. Karena itu, silih berganti tugas penting diserahkan kepadanya, antara lain mengurus bagian dakwah, bagian taman pustaka, dan bagian pengajaran. Tahun 1921 ia diutus ke Mekah selama 8 tahun untuk meneliti nasib para jemaah haji yang berasal dari Indonesia karena mereka seringkali mendapat perlakuan kurang baik dari pejabat-pejabat Mekah. Sekembalinya, memprakarsai pembentukan Badan Penolong Haji. Selain itu, ia pernah pula diutus ke Kairo sebagai wakil umat Islam Indonesia untuk menghadiri Konferensi Islam.
Kesibukannya mengurus Muhammadiyah dan usahanya, membuatnya kurang memperhatikan kesehatannya. Menjelang kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1929, ia jatuh sakit. Pada tanggal 28 Februari 1929, ia akhirnya meninggal dunia di Yogyakarta dan dikebumikan di Pakuncen, Yogyakarta.

Perjuangan Djoeanda Kartawidjaja

Add caption

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang di tempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung), dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.

Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar.
Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.


Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Isi dari Deklarasi Juanda ini menyatakan:
  1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
    1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
    2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
    3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI

Perjuangan Gatot Subroto



Setamat pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun memilih menjadi pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah militer het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) di Magelang. Sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim di Padang Panjang selama lima tahun, Gatot Subroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan lanjutan, pendidikan masose. Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak.
Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi militer milik Jepang yang merekrut tentara pribumi untuk berperang, di Bogor. Di sanalah karier Gatot Subroto mulai merangkak naik. Selepas lulus dari pendidikan Peta, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas sebelum akhirnya ditunjuk menjadi komandan batalyon. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.
Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak. Selama menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalyon, Gatot Subroto dinilai sering memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang sering kali membuat ia ditegur oleh atasannya.
Namun, bukan berarti sering mendapat teguran dari atasan membuat Gatot Subroto kapok dan patuh terhadap perintah. Justru hal itulah yang membuat Gatot Subroto mendapatkan angin segar untuk sekadar 'menakuti dan mengancam' pihak Jepang. Saat itu, ia mengancam bahwa dirinya mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut senjata perangnya. Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya kemudian meluluskan apa yang dikerjakan Gatot Subroto, yakni memihak pribumi terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.
Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil didapat, Gatot Subroto kemudian membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal nama Tentara Nasional Indonesia yang ada kini. TKR dipimpin oleh Kol. Sudirman di mana saat itu Gatot Subroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti menjadi Komandan Devisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang dalam pertempuran Ambarawa.
Pada tahun 1948 terdapat Peristiwa Madiun atau Madiun Affairs yang melibatkan pihak Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia. Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot Subroto. Saat melawan PKI, Gatot Subroto melancarkan operasi militer agar dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Tak berbeda jauh dengan pemberontakan yang ada di Jawa, di Sulawesi Selatan juga terdapat pemberontakan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar pada tahun 1952. Lagi-lagi karena dinilai pandai dalam memasang strategi, Gatot Subroto diserahi untuk menumpas pasukan pemberontak dan kembali pulang dengan membawa kemenangan. Tak hanya sekadar kemenangan, para pemberontak pun juga berhasil dibujuknya agar kembali dalam barisan TKR. Berkat usahanya tersebut, Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro di tahun yang sama.
Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, berani, dan membela kaum yang tertindas. Maka, pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di istana negara akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut langsung mengundurkan diri dari jabatannya sekaligus dari dinas militer. Pada 1953, ia mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun 1956. Melalui tangannya, ia berhasil melumpuhkan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Perdjuangan Rakjat Semesta (PRRI/Permesta) yang ada di Sumatera dan Sulawesi Utara.
Pada tanggal 11 Juni 1962, Gatot Subroto meninggal di usia 55 tahun. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Ia adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan (Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut) untuk membina para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1965.
Melengkapi pangkatnya, seminggu setelah ia dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Jogjakarta, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.222 tanggal 18 Juni 1962 disematkan kepadanya.[1]

Perjuangan Pangeran Soerjopranoto

Pangeran Soerjopranoto dan juga bangsawan-bangsawan lainnya di Praja Paku Alaman, umumnya tidak pernah menyembunyikan kenyataan sejarah, bahwa di dalam tubuh kerabat Paku Alaman itu, terutama Sri Paku Alam ke-II telah mengalir darah rakyat jelata yang segar yang berasal dari seorang petani di desa Sewon, Bantul, Yogyakarta, yang bernama Ronodigdoyo.
Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam perjuangan melawan Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada Pangeran Mangkubumi, adik Sultan Pakubuwono II. Sebab itu kepadanya dijanjikan kedudukan yang baik, apabila pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan kemenangan.
Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-I, Sri Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ronodigdoyo pada kedudukannya sebagai prajurit.
Karena sakit hati, maka Ronodigdoyo meninggalkan istana tanpa pamit dan kemudian mendirikan perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan kemudian beranak tiga orang, yaitu : Prawironoto, Prawirodirdjo, dan seorang anak perempuan, Sedah Mirah (Sirih Mirah).
Dikemudian hari putera mahkota, yang nantinya menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono ke-II, yang belum tahu menahu asal usul Sedah Mirah, telah jatuh cinta kepada gadis desa itu. Maka tanpa sengaja setelah mereka menikah, Ronodigdoyo terangkat dengan sendirinya kepada kedudukan yang mulia, sebagai besan Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-I.
Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-II, dan Sedah Mirah diangkat menjadi permaisuri, bergelar Kanjeng Ratu Kencana Woelan (atau Kencana Woengoe). Dari permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan tiga orang anak, puteri semua, dan ternyata ketiganya diperistri oleh bangsawan-bangsawan yang memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah, dan menurunkan pejuang-pejuang bangsa. Yang Pertama adalah Kanjeng Ratu Ayoe yang kemudian menjadi permaisuri Sri Paku Alam ke-II dan menjadi asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional Aoejopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Yang Kedua, Kanjeng Ratu Anom yang diperistri oleh Adipati Madiun dan kemudian yang Ketiga, Kanjeng Ratu Timoer, yang deperistri oleh Patih Sedolawe dan menurunkan Gondokoesoemo, yang cukup dikenal dalam Perang Diponogoro (1825-1830).

Rabu, 09 Maret 2016

Perjuangan Cut Nyak Dien




            Perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda dan mengusir pemerintah kolonial Belanda dari Tanah Rencong begitu gigih dan tak kenal menyerah. Perjuangan Cut Nyak Dien semakin membuat pemerintah kolonial Belanda kewalahan menghadapinya. Taktik berperangnya memang begitu cerdik. Seorang perempuan yang begitu cerdas, berani, dan penuh kecintaan terhadap Bumi Pertiwi.
Kota Aceh adalah salah satu kota yang memiliki banyak sejarah. Salah satu peninggalan sejarahnya adalah Mesjid Baiturrahman. Inilah ikon Aceh, yang menjadi kebanggaan masyarakat Serambi Mekkah, yakni Masjid Baiturrahman.
Masjid megah ini selain untuk beribadah umat Islam, masjid ini merupakan bukti dokumentasi konkret tentang awal masuknya Islam ke Aceh yang dibawa oleh pedagang Gujarat. Masjid Baiturrahman menegaskan pula bahwa Aceh itu sebagai Serambi Mekkahnya Indonesia.
Masjid ini dibangun pada abad 17, di masa era kesultanan Iskandar Muda. Awalnya, masjid ini adalah masjid kesultanan, tapi seiring meluasnya Islam di Aceh, masjid ini dibuka untuk masyarakat umum. Masjid ini sudah mengalami beberapa perluasan dan renovasi, termasuk menjadi saksi sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk perjuangan seorang Cut Nyak Dien.
Perjuangan Cut Nyak Dien
Beliau lahir di Lampadang, Aceh, pada 1850. Ayah dan suaminya merupakan pejuang kemerdekaan. Ketika Belanda menduduki tanah kelahirannya, beliau mengungsi dan berpisah dengan ayah dan suaminya. Perpisahan ini menjadi akhir pertemuan beliau dengan suami tercintanya. Teuku Ibrahim Lamnga, suaminya, gugur dalam pertempuran dengan Belanda di Gletarum, Juni 1878.
Cut Nyak Dien tidak menerima penghinaan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda yang pada awalnya menyerang Aceh dan membinasakan tempat ibadah. Kemarahannya terhadap Belanda semakin menjadi saat suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, gugur dalam perang.
Selang 2 tahun setelah kematian suaminya, beliau menikah lagi dengan salah seorang pejuang hebat bernama Teuku Umar. Cut Nyak Dien dilamar pejuang Aceh bernama Teuku Umar. Bersama suami keduanya ini, Cut Nyak Dien semakin bersemangat untuk mengusir penjajah Belanda. Guna mempertahankan wilayah dan kemerdekaan, Cut Nyak Dien tak gentar maju berperang melawan Belanda yang memiliki persenjataan canggih.
Namun sayang, kisah tragis yang pernah dialaminya kembali terulang. Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Setelah suaminya Teuku Umar meninggal, Cut Nyak Dien meneruskan perjuangannya sendirian. Namun, ia tak gusar. Tak kalah mental meski ditinggal suami tercinta yang gugur di medan perang. Cut Nyak Dien terus melakukan gempuran terhadap markas-markas Belanda bersama para pengikutnya.
Cut Nyak Dien menjadi orang yang paling dicari oleh Belanda untuk dibunuh karena perjuangannya mengancam keberadaan dan kelangsungan pemerintah kolonial Belanda di bumi Serambi Mekkah. Namun, perjuangan Cut Nyak Dien dikhianati oleh anak buahnya, Pang Lot, yang memberi tahu Belanda tempat persembunyian Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien yang ketika itu telah tua dan buta karena matanya mengalami kerabunan akut, tidak bisa menghindar lebih jauh dari serangan Belanda yang tiba-tiba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Kemudian, diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Perjuangan Cut Nyak Dien mesti terhenti karena ia ditahan di Sumedang.
Di dalam tahanan, ia dijuluki sebagai Ibu Perbu sebab Cut Nyak Dien begitu paham dengan ajaran agama. Seorang ulama bernama Ilyas yang juga ditahan memberinya julukan tersebut.
Pada 6 November 1906, perjuangan Cut Nyak Dien benar-benar berakhir dengan kepulangannya kepada Sang Pencipta. Ia dimakamkan di Sumedang dan makamnya baru ditemukan pada 1959 atas perintah gubernur Aceh bernama Ali Hasan.
Pencarian makan Cut Nyak Dien berdasarkan atas data yang ditemukan di Belanda. Berkat semangat pantang menyerahnya, beliau dinobatkan sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden RI No. 106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Perjuangan Cut Nyak Dien dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, menginspirasi sutradara Eros Djarot untuk mengabadikannya dalam sebuah film pada 1988. Christine Hakim didaulat menjadi aktor yang memerankan Cut Nyak Dien. Film Tjoet Nja' Dhien mendapat penghargaan Piala Citra sebagai kategori film terbaik dan film ini menjadi film pertama produksi Indonesia yang diputar di Festival Film Cannes.
Perjuangan Cut Nyak Dien tak berhenti dengan kematiannya. Perjuangan pahlawan bangsa ini akan terus tumbuh, hidup, dan abadi, dalam jiwa bangsa Indonesia, khususnya rakyat Aceh.
Sumber : Museum Pahlawan

Perjuangan Kartini

Semasa hidupnya dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibu dari Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari ayahnya, bisa dilacak terus hingga Sultan Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan Sosroningrat sendiri bisa terus ditelusuri hingga pada masa Kerajaan Majapahit.

Ayah Kartini sendiri awalnya hanyalah seorang wedana (sekarang pembantu Bupati) di Mayong. Pada masa itu, pihak kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang menjadi bupati harus memiliki bangsawan sebagai istrinya, dan karena M.A. Ngasirah bukanlah seorang bangsawan, ayahnya kemudian menikah lagi dengan Radeng Adjeng Moerjam, wanita yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Pernikahan tersebut juga langsung mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan ayah dari R.A. Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.
Sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal ketika ia yang berumur 12 tahun dilarang melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS) dimana ia juga belajar bahasa Belanda. Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu ayahnya sendiri. Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena usianya sudah mencapai 12 tahun, berarti ia sudah bisa dipingit. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, dimana ia kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sering mendukung apapun yang direncanakan Kartini. Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang bagaimana wanita-wanita Eropa mampu berpikir sangat maju. Api tersebut menjadi semakin besar karena ia melihat perempuan-perempuan Indonesia ada pada strata sosial yang amat rendah.
Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca. Sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya. Bupati yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini sebelumnya sudah memiliki istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak satu-satunya di usia 25 tahun.
Pemikiran dan Surat-Surat Kartini
Wafatnya Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat “baru” dari Kartini.
Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.